MENUJU GUNUNG

  Selamat siang,

Mari memulai tulisan ini dengan berterimakasih atas hari-hari panjang yg berhasil kita lalui dan bisa mengambil pelajaran untuk menjadi diri kita yg terbaik.

        Aku ingin menceritakan tentang perjalananku menuju gunung merbabu beberapa waktu yg lalu. aku pergi sendirian dari Jakarta dengan perasaan macam-macam dan berharap, aku akan mendapatkan kesegaran seperti orang-orang yg memberikan saran saat perasaan sedang kalut "kalian kurang piknik". aku mantap pergi. lalu,  suasana hatiku berubah sehari sebelumnya, aku memutuskan untuk tidak ikut dan malam sebelum keberangkatan,aku berpikir kembali, apa salahnya pergi dan entah saat kembali aku merasa lebih baik atau tidak, jalani saja dan aku akhirnya memutuskan untuk pergi.

       Ini bukan pendakian pertamaku, pendakian pertamaku saat aku SMP dan aku tidak akan menceritakan soal itu. karena, tahun itu manusia masih "sedikit" bersahabat dan alam juga tidak begitu repot mengurusi manusia dan tentu saja, tren naik gunung belum seramai sekarang. waktu itu, tujuanku untuk pelantikan kenaikan pangkat di Pramuka. sungguh berbeda dengan tujuanku pergi sekarang. tapi,apapun itu perjalanan ini berarti juga dan aku akan mulai bercerita dengan hal-hal yg kurang menyenangkan dan selanjutnya pelajaran yg bisa diambil dari perjalanan ini.

      Pertama, aku pergi impulsif, aku tidak menyiapkan perbekalan dengan lengkap, karena temanku yg mengajak adalah orang asli sana dan dia bilang, kalau aku hanya perlu membawa baju ganti. soal perbekalan makanan, obat-obatan dan perlengkapan kemah bisa dibeli dan disewa di sana. aku setuju, karena aku akan naik bus sendirian selama 15 jam dan tentu saja, karena aku impulsif memutuskan untuk ikut.
      Aku berangkat bersama dua teman kuliahku dan teman-teman mereka yg mana adalah anak sekitar kampung merbabu, aku tidak mengenal mereka, kecuali kedua orang teman kuliahku dulu. mereka semua sudah lulus, kecuali aku yg memutuskan untuk lulus sendiri dan lanjut ke sekolah kehidupan. tapi, mereka masih mengingatku dan beberapa yg dulu berteman dekat denganku masih suka menanyakan kabar, salah satunya mereka. aku kuliah di jurusan Arsitek, jarang perempuan yg bertahan di jurusan itu dan temanku yg mengajak dan tentu saja yg dekat denganku, lebih banyak laki-laki. aku mungkin memang tomboy sejak kecil. tapi, aku tidak pernah menutup diri dan membagi-bagi soal "pertemenan", aku suka berteman dengan laki-laki dan perempuan. mungkin, keadaan dan kecocokan situasi saja yg membuat pertemanan saat masa sekolah lebih didominasi laki-laki.karena,sekarang aku lebih banyak mempunyai teman-teman perempuan.

     Kedua, aku  perempuan sendirian dan yg aku kenal hanya kedua orang temanku, sisanya adalah warga lokal yg sangat susah dan jarang untuk berbahasa Indonesia. aku lebih banyak diam saat di perjalanan, sesekali ikut dalam obrolan walaupun singkat sekali. perjalanan sebagai perempuan sendirian, yg pergi dalam keadaan kalut dan sudah lama sekali tidak mendaki merupakan kesulitan besar, ditambah aku pergi bersama warga lokal yg biasa mendaki gunung merbabu,mereka mendaki seperti pergi ke pasar saja. mereka sudah hapal jalur, tidak menggunakan jaket tebal dan berjalan begitu cepat. aku tertolong oleh teman kuliahku yg satunya, yg badannya berisi dan jarang berolahraga, dia selalu berada di belakangku dan kita berdua sampai di Pos 5 tempat kita berkemah di urutan paling terakhir, jam 10 malam.

   Ketiga, aku hanya membawa gula aren organik, yg aku ambil dari dapur saat berkemas pergi. aku tidak menyalahkan siapapun, karena aku sendiri tidak menyiapkan perbekalan untukku. Tapi, setelah aku sampai di Jakarta dan aku berpikir, makanan kemping selalu identik dengan makanan instan, padahal menurutku seharusnya makanan kemping harus yg bergizi. sayuran dan kacang-kacangan penambah energi dan mereka sama beratnya dengan mie instan. pendakian waktu SMP  dan sebelum perjalanan ini, aku ingat aku selalu menjadi juru masak, karena hanya aku yg bisa memasak saat seumuran sekitar kami. aku terbiasa memasak sendiri sejak SD. aku ingat, saat kemping aku memasak sayur asem, tempe orek dan sayur sop. hanya dua hari kami memakan sarden dan mie instan, saat baru sampai dan saat mau pulang. Tapi, saat perjalan ke merbabu ini, karena aku perempuan sendirian dan aku tidak pingin banyak berpikir dan merepotkan, aku hanya menurut saja. teman-teman mendakiku tidak begitu peduli dengan makanan sehat dan tidak mau ambil pusing juga. karena, mereka pernah bercerita kalau dalam satu bulan, mereka bisa mendaki 2-3 kali dengan hanya berbekal 10 ribu rupiah dan aku juga tidak mau ambil pusing dan hanya menikmati perjalanan. lalu singkatnya, aku sampai di tenda dengan kondisi kelaparan dan kedinginan karena badai dan makanan kami adalah mie instan dan nasi dan setelahnya, aku tidak bisa tidur karena kedinginan.

     Keempat, sampah. ini sudah pasti menjadi masalah dimana-mana. tapi, aku sampai harus menulis ini. karena, kesal sekali. pagi-pagi saat di atas, aku kepingin kencing dan temanku menyarankan untuk kencing di balik bukit. bukit itu ada di semak-semak perkemahan. walaupun, di merbabu tidak terlalu ketara semak-semaknya. karena, alam savana dan tumbuhan yg tidak terlalu tinggi. ada bukit yg agak menjorok ke tebing lain, sehingga pendaki dari bawah tidak bisa melihat kalau di sana adalah "WC" . aku menolak menggunakan tissue, entah sejak kapan. aku memilih membasuh vagina menggunakan air saja. aku pergi ke belakang bukit "WC" itu dan yg aku temukan di sana adalah tissue dimana-mana, baik tissue basah mapun tissue kering, bahkan ada pembalut wanita yg nyangkut di pohon edeilwes. aku sedih sekali dan kembali ke tenda dengan perasaan kecewa. aku bingung harus marah dengan siapa dan bagaimana mengungkapkannya. aku memilih diam.
    Aku perhatikan di setiap perjalanan pasti ada sampah, di setiap pos pemberhentian juga ada sampah. sampah plastik kemasan cemilan, sedotan, tissue dan puntung rokok adalah sampah paling banyak. aku pungut sebisaku dan lagi-lagi, teman-teman yg berasal dari kampung sekitar merbabu juga tidak ambil pusing. ataukah sebenarnya ini memang hal "normal"?

    Kelima, Catcalling, saat bertemu pendaki lain memang baiknya kita saling menyapa untuk membentuk solidaritas "pecinta alam" dan sebagainya. tapi banyak juga laki-laki termasuk di kelompok perjalananku yg menggoda perempuan pendaki yg lewat, dimulai dengan hal yg paling kecil yaitu sapaan yg aneh "mba... udah biasa naik ya?" atau di-"hya.. hya.. hya"-in saat perempuan loncat dari batu satu ke batu yg lain, atau menawarkan "mau tak gendong ga mbak? capek ya?" dan menggoda perempuan yg lewat dan dengan pandangan yg tidak membuat nyaman dan masih banyak lagi. aku menegur seorang laki-laki yg berasal dari kampung merbabu dan lagi-lagi, dia tidak ambil pusing soal omelanku.sungguh, dimanakah perempuan bisa merasa aman dan nyaman jika di gunung pun diperlakukan sama seperti di jalan raya?. aku tahu laki-laki memilki kelebihan yg unik yaitu kekuatan, aku mengakuinya dan perempuan juga memiliki kelebihan yg unik lainnya,seperti berpikir dan kepekaan. kita tidak musti menjadi sama dan memang tidak perlu. tidak ada yg lebih unggul , kita sama. hanya saja berbeda keunikan dan seharusnya kita bisa saling mendukung atas perbedaan itu.

    Keenam, Esensi perjalanan. ini sepertinya berlaku dimanapun, tanpa kecuali di gunung. esensi pejalanan jaman sekarang, karena tuntutan konten maupun tren. sepanjang perjalanan, banyak sekali orang yg lebih memilih berfoto ria, dibanding menikmati perjalanan itu sendiri. aku akui menangkap momen memang perlu. tapi, apa sebatas itu saja arti esensi sebuah perjalanan? mungkin, aku pergi dengan orang yg kurang tepat dan mungkin, aku saja yg terlalu kritis dan sensitif. tapi, sungguh kalau kalian pergi ke gunung hanya untuk foto dan konten, sungguh tidak Worth it, karena alam menjadi rusak dan capeknya bukan main. pada saat sampai di puncak,saat fajar datang, saat matahari tenggelam, saat malam penuh bintang-bintang, berfoto boleh saja. tapi, berapa banyak orang yg hanya duduk menikmati momen itu dengan mata kepala sendiri, merasa kecil dan berpikir soal welas asih terhadap alam? hampir tidak ada. akupun tidak. sesungguhnya, di sana aku justru malah stres, stres oleh sampah, stres oleh kelakuan teman-teman kelompokku yg seksis. dll saat matahari terbit, semua orang sudah siap dengan "Gear" mereka untuk menangkap momen, untuk menjadikan alam sebagai objek. aku hanya keluar dari tenda sebentar, melamun melihat langit yg berada satu jengkal di bawah kakiku berpijak , matahari yg begitu oranye dan bulat berada satu horizon dengan pundakku, pundak yg terasa berat ini dan kembali ke tenda berusaha tidur lagi, karena gerimis dan badai angin pagi yg menusuk.

    Di perjalanan turun, tentu lebih cepat. tetapi, aku lebih sering jatuh terpeleset. di perjalanan pulang, aku berusaha menekan stresku dan berdoa untuk gunung ini, aku memanggilnya "Nona api" karena begitu gersang tetapi masih bisa dinikmati kecantikannya. di perjalanan turun, aku memungut beberapa buah pinus, mampir ke kebun sayuran : brokoli, kucay, sawi, tomat dan daun bawang besar. aku berusaha berteman dan mengobrol lebih banyak dengan teman-teman baruku, aku berusaha memaafkan segala yg mebuatku kesal di atas gunung dan aku tutup perjalananku dengan membeli sayuran dari petaninya langsung dan numpang bersih-bersih di rumahnya dan bersalaman dengan mereka semua.

   Pelajaran dan kesenangan yg bisa aku ambil adalah :

1) Di kaki gunung, saat hutan masih hijau dan subur sebelum menuju savana, aku meminta untuk bertemu peri dan aku bertemu dengan seekor capung dan ngengat. mengingat, di sana tidak ada sumber air, tidak mungkin capung bisa hidup di sana. aku percaya kalau itu peri dan ngengat yg selalu datang di sekitarku saat aku memintanya hadir. aku merasakan banyak energi hutan di sana. aku melihat ada beberapa "Dryad" atau spirit pohon. kebanyakan laki-laki tua kesepian. ada satu Ibu pohon tertua di sana dan ia yg menghidupi seluruh hutan merbabu. energinya besar sekali

2) Berpergian untuk melupakan permasalahan kehidupan adalah tidak menguntungkan. karena, pada akhirnya yg bisa membenarkan diri sendiri adalah diri kita sendiri dan soal tempat itu tidak menjadi masalah, dimanapun kalian berada. walaupun, jika bisa pergi ke alam adalah keuntungan lebih. tapi, yg paling penting adalah kembali ke diri sendiri dan mencari kebahagiaan sendiri. kalian bisa pergi ke alam terdekat, memeluk pohon di kota, mereka juga butuh pelukan dan sapaan. berpegian dengan hati yg tenang, rasanya lebih menguntungkan.

3) Dan tentu saja berpergian itu menyenangkan, kalian musti menemukan teman yg cocok dengan kalian, yg saling mendukung dan yg pasti benar-benar peduli lingkungan. saat sampai puncak, aku berpikir akan sangat menyenangkan jika memiliki teman yg bisa diajak mengobrol soal teori alam semesta dibanding sibuk berfoto ria dan tentu saja, yg sepemikiran soal makanan dan gizi. karena, makan mie instan bukanlah pilihan

4) Welas asih, setelah turun dari gunung aku berpikir, sebaiknya manusia jangan pergi kemana-mana dulu selama beeberapa tahun. seperti tulisan di buku Sapiens, soal manusia adalah perusak alam nomor satu di planet ini, sebaiknya manusia di rumah saja jika tidak bisa welas asih. jika masih menghasilkan sampah, bahkan di gunung yg mustinya menjadi tempat sakral.

5) Kehidupan di kota dan di desa adalah netral. tidak ada yg lebih baik ataupun lebih buruk. yg membedakan hanya lingkungan sekitar, semuanya tergantung manusia yg memilih bagaimana ia menjalankan kehidupannya. di jaman sekarang, orang-orang desa yg masih menganut kehidupan welas asih memang masih banyak, tapi banyak juga yg sudah termakan arus modern. tidak semua orang kota itu tidak peduli dengan lingkungan, beberapa hanya "terpaksa" karena memang ditakdirkan terlahir di kota dan mengabdi untuk sementara di sana dan tidak semua orang desa, sadar bahwa mereka hidup lebih dekat dengan alam dan musti menjaganya dengan usaha lebih karena efeknya akan terasa langsung. aku melihat, parit-parit di desa sekitar merbabu juga sama, banyak sampah plastik, merokok sembarangan dan membuang puntungnya dimana saja, memilih plastik dibanding daun untuk kemasan makanan-makanan tradisional, dll
aku memang kepingin sekali pindah ke desa dan memulai kehidupan sederhana, tapi nyatanya itu bisa dimulai dimana saja, semuanya tergantung pemikiran dan filososfi kita soal kehidupan dan alam itu sendiri.

6) Bersabar dan menurunkan ego. tidak semua orang satu pemikiran dengan kita dan tidak selalu, perlakuan orang menunjukan bagaimana diri kita (mirror-self) tapi, terkadang itu menunjukan bagaimana mereka menilai dan memandang diri mereka sendiri dan kita tidak pernah tahu perjalanan apa yg sudah dilewati seseorang, sehingga membentuk karakternya yg sekarang dan tugas kita adalah mengatur respon atas hal-hal yg berbeda dengan prinsip kita.


inilah ceritaku tentang perjalanan mendaki gunung merbabu, kalian tidak akan menemukan fotoku karena aku tidak banyak mengambil foto dan kalian juga tidak akan menemukan tulisan puitis yg aku tulis di sana atau rekomendasi budget dsb , inilah yg aku alami dengan jujur. tapi, apakah setelah ini aku kapok naik gunung? jawabannya tidak. hanya butuh waktu dan musti lebih bijak sebelum memutuskan pergi lagi. karena aku tidak mau merusak alam yg aku tidak bisa membuatnya sendiri.


peluk cium



Bulan

Komentar

  1. Tulisan yang selalu menggugah. Aku membacanya sampai habis. Terima kasih Ca.

    BalasHapus
  2. terimakasih untuk tulisanmu, kau memang manusia ajaib🖤

    BalasHapus
  3. Pendakian pertamaku juga membuat aku tersadar, jangan sering2 naik gunung deh, walaupun kita ga buang sampah disana, tapi tetep aja kita jadi menghasilkan sampah yang gak seharusnya ada kalau kita ga kemana-mana. Misalnya, kita jadi beli air dalam kemasan lebih banyak padahal gaperlu kalau kita ga pergi. Aku juga sempat bertekad pingin bawa sapu lidi kalo aku naik gunung lagi, supaya aku bisa sapuin tempat kempingku waktu itu(yang mana bekas orang lain) dari sampah2 kecil bekas sobekan plastik makanan. Aku gemes, pengen nangis, pengen ngomong, tapi ga berani karena aku yakin mereka akan bilang kalau aku so-soan menjaga lingkungan. Walapun, pada akhirnya aku ngomong setelah turun gunung dan ada yang bilang begini : "nanti juga ada yang suka bersihin kok, dari pihak pengurus pendakian yang waktu kita daftar, kan kita bayar juga sama mereka". Sedih:(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer