Sebuah Ruang





  Apakah sebenarnya aku ini penyendiri atau petualang?

     Aku ajukan pertanyaan itu ke diriku sendiri,setiap kali aku memutuskan untuk mencari ruang-ruang kecil di kota yg sama dengan rumah Ibu,setiap kali aku memutuskan membangun studio untuk berkarya bersama orang lain atau diriku sendiri dan setiap kali akhirnya aku kembali ke rumah Ibu lagi dan lagi.   

✿✿✿

Kos kecil di belakang Masjid, rumah tua belanda kosong di Kenari, toko buku harum tembakau di Bekasi, kos dengan balkon dekat bandara, rumah panjang anjing di Tebet, kos mahal di samping kuburan Barito dan rumah tua pecinan di Jatinegara.

     Hari ini aku menstruasi dan menangis banyak sekali dan menyendiri. Lalu,aku menelusuri satu persatu pengalaman dari tempat-tempat yg pernah aku tinggali dari usia delapan belas hingga hari ini saat aku menstruasi.

 

   ✿✿✿

I. Penyendiri

    Sampai hari ini, aku menjadi semakin mengerti kenapa aku senang membuat karya yg menceritakan pengalaman anak-anak dan merespon rasa dan membawa nuansa itu ke pengalaman manusia dewasa, di hidupku saat ini. 

    Karena,akar dari pertanyaan ini ada di masa anak-anak. Akarnya adalah apa yg aku alami saat anak-anak atau mungkin lebih jauh lagi saat Ibu mengandungku dan lebih runcing lagi, pengalaman-pengalaman kolektif nenek sampai buyut dan terus sampai ke leluhur yg tak pernah aku temui.

      Aku tidak bisa menyederhanakan akar ini dengan mudah. Tapi,aku belajar satu wawasan yg pasti tentang diriku. Bahwa,setidak-tidaknya aku butuh ruang dan waktu hanya bersama diriku saja, tidak ada suara bahkan musik sekalipun, tidak ada asap rokok, tidak ada interaksi dengan manusia, hanya ada aku di duniaku saat ini. Setidak-tidaknya,satu atau dua bulan sekali. Dan, dari kemarin, hari ini dan mungkin esok adalah harinya. Hari aku di ruang amanku, di mana aku bisa mencium harum laut dari gang sempit ini, bisa mandi air hujan telanjang, bisa memeluk kucingku dan puasa berbicara, bisa melihat darah mengalir dari vaginaku, bisa menjadi diri kecilku dan diri tuaku.

                                                                              ✿✿✿

II. Petualang

   Ada beberapa ruang yg masih membekas di ingatanku sampai hari ini. Ruang-ruang di dalam dan ruang-ruang di alam. Aku masih ingat saat aku pulang sekolah di SD petang, aku selalu menyebut semak-semak sawi langit di bawah pohon kayu putih adalah hutan kecil, aku masih ingat lapangan yg luas dipenuhi belalang kecil dan bunga-bunga liar di Banten, aku masih ingat rumah kecil tempat penyewaan komik di Kayu Manis, aku masih ingat wajah perempuan yg menjaga toko itu. 

   Aku senang menyendiri,senang jalan kaki sendiri dan aku sangat nyaman melakukan petualangan bersama diriku saja. Tapi, aku juga senang melihat ruang-ruang yg dibentuk manusia dan alam--nature gets invloved and we don't take control,bertemu manusia baru tanpa sengaja, semak belukar liar di rumah yg ditinggalkan.

   Tentu, apalagi alasan yg paling ringkas kalau bukan "petualang" saat aku memilih menjadi seniman lepas, saat aku memilih bekerja untuk diriku sendiri bersama diriku sendiri. Walaupun toko pertamaku adalah toko online, aku menata toko online-ku dengan nuansa yg aku suka : narasi, karya kerajinan yg dibuat, cara kerja dan foto-foto yg menyenangkan dan personal. Tapi, aku lebih suka menjual karyaku secara offline, pertemuan langsung. Aku mendapat banyak teman baru dari pekerjaanku, secara tidak sengaja dan prosesnya sangat organik. Aku pernah berpikir untuk membuka lapakan di Kota Tua Jakarta dan di Jembatan Item dan di taman-taman kota atau lebih gila lagi, keliling Indonesia. Karena, sisi lain diriku merasa ramah dan petualangan dan rasanya indah,bisa menjalaninya bersama hal yg aku suka : karya-karyaku. Dan, aku tidak pernah suka mall,mall itu seperti manusia dewasa yg terlalu rapih dan kaku dan tidak suka jalan kaki. Tapi,aku selalu suka ruang dan toko-toko kecil,yg berkepemilikan personal. Aku suka toko yg memiliki harum khusus, ada barang-barang hiasan di antara produk yg dijual, aku suka toko yg dihias dengan tulisan tangan,ada mural, aku suka toko yg menjual barang-barang aneh dan tak terduga, aku suka toko yg terlihat lapuk, aku suka toko yg menjual buku-buku dan ditata tak begitu rapih, aku suka toko yg dijaga oleh kakek atau nenek atau anak muda yg pemalu dan bingung tapi juga mau hidup dan bisa menceritakan dengan antusias tentang barang yg dijualnya. Aku suka toko yg mendapat sentuhan personal, tidak kaku,tidak terlalu rapih dan suka jalan kaki.

         Aku ingin sekali punya toko. Toko kecil yg aku tata sendiri sambil mendengarkan musik-musik laut dan gunung. Aku berusaha membangun tokoku di Kosku, di Studio bersama. Tapi, aku selalu kembali ke rumah Ibu karena berbagai hal,sebelum aku sempat menata produkku,sebelum ada anak-anak perempuan dan laki-laki dan apapun gender dan orientasinya datang mengunjungi toko kecilku.


   Aku selalu ingin sekali punya ruang untuk karya-karya buatan tanganku. Aku selalu ingin punya toko,biarpun kecil.

    

   ✿✿✿

III. Jatinegara

    Bapak mengenalkanku dengan Jatinegara lewat cerita-ceritanya mendapatkan kaset-kaset lawas dan guci-guci cina. Baru dua tahun lalu, Ibu bercerita soal neneknya alias buyutku yg berdagang di Pasar Mester Jatinegara. Aku senang jalan kaki. Aku selalu senang ke Jatinegara, kecuali pasar hewannya. Aku senang Jatinegara begitu hidup,liar dan juga melankolis di saat yg sama. Aku selalu senang ke pasar loak di Jatinegara dan makan siang di warung sayuran di dekat sana.

   Suatu hari yg aneh,mungkin sekitar bulan April tahun 2021, aku jalan kaki di Jembatan Item, pasar loak di Jatinegara (selanjutnya akan aku sebut JI). Aku melihat ada sebuah rumah dengan poster disewakan di tengah JI, aku langsung mengirim fotonya ke temanku dan dia bersemangat memintaku menghubungi nomor yg tertera di poster. Aku menghubunginya dan harganya kemahalan sekali untukku. Aku menawar dengan setengah harga, Bapak ditelepon hanya tertawa dan bilang "ayo kita janjian lihat dalamnya". Lalu, aku mengajak dua orang temanku dan bertemu pemilik rumah itu dan akhirnya menemukan fakta bahwa rumah itu begitu luas dan panjang. Interior di dalamnya masih dengan desain rumah lama khas pecinan. Kami semua kagum dan merasa sangat cocok dengan rumah itu. Lalu, pekerjaanku dimulai. Aku mulai menghubungi banyak orang untuk mencari penyewa tambahan karena harga sewa yg cukup mahal, yg mana sebenarnya wajar dengan ukuran rumah sebesar itu.

    Sejak kecil, aku tidak pernah menjadi ketua kelas, memimpin diskusi, aku tidak pernah mau ada di depan orang, aku selalu lebih memilih mengolah duniaku sendiri dan melakukan petualangan sendiri. Jadi, rumah besar di Jatiengara, di tengah JI mengajarkanku banyak hal. Tapi, yg paling aku rasakan adalah : komunikasi dan empati.

   Di awal sekali, aku hanya ingin mencari toko kecil untuk diriku sendiri. Kerja bersama diriku saja adalah cara kerja yg paling cocok untukku. Tapi, dari tahun 2021 sampai hari ini genap satu tahun, duniaku bergeser, pergeseran yg jauh dan sering membuatku kewalahan. Tak terbayang jika aku harus menghadapi ini jika aku masih di fase tahun-tahun lalu, saat ini meditasi dan wawasan kesadaran sangat membantuku tetap ada di jalur.  Walau sering jatuh, tapi aku harus mengolah rumah besar bersama para penyewa lainnya untuk dijadikan toko dan studio. Benar-benar tidak mudah. Khususnya,untuk sisi penyendiri di diriku yg sering sekali aku sisihkan dulu agar aku bisa tetap membuat rumah itu hidup, agar aku dan kucing-kucing tetap bisa makan, agar bisa bayar sewa.

    
   Hari di mana awal mula kunci diserahkan, hari di mana kami tidak punya perabotan apapun, hari di mana aku sendirian saja di rumah besar itu. Sejak hari pertama, aku sudah berbicara pada diriku sendiri, pada rumah ini, bahwa tidak ada kemelekatan di sini, kalau pun nantinya aku melekat dengan rumah ini, aku akan melepaskannya dengan hati lapang, karena kenangan dan pengalamanku sudah cukup,  kapanpun aku siap melepaskan rumah ini, ruang ini. 

  Para penyewa datang dan pergi, yg bertahan dari awal hingga saat ini hanya beberapa orang. Aku memimpin diskusi, membuat acara-acara kesenian dan yg paling penting, aku punya studio sendiri. Studio mulai terisi setelah aku menabung untuk membeli perabotan. Membeli perabotan adalah komitmen, itu pengalamanku selama aku tinggal berpindah-pindah. Aku selalu menghindari membeli perabotan. Tapi, studioku membutuhkannya, pun aku membelinya dari loakan sekitar juga.

   Kemelekatan semakin terasa kencang saat aku bisa membuat ruang yg aman untukku berkarya, saat aku mural dinding-dinding rumah, saat kedatangan penyewa lain yg memperlakukan tempat itu seperti rumah, saat aku mulai berusaha keras dan mempertanyakan nilaiku sendiri, mengabaikan hal-hal yg memantik personal dan mengutamakan kesejahteraan kolektif. 

Kemelekatan adalah penderitaan, kata guruku Thay. Aku setuju,selalu setuju.

   Kami selalu kekurangan uang karena kekurangan penyewa. Penyewa datang dan pergi dengan beragam cerita dan alasan. Aku tidak bisa kontrol itu. Kemarin-kemarin,aku sedang lelah untuk mencari penyewa tambahan, mempromosikan rumah ini dan usaha-usaha lainnya di media sosial. Tapi, setelah hari ini, mengingat akhir bulan sebentar lagi, aku akan berusaha dan juga melepaskan. Aku akan berusaha, tapi juga mengikuti intuisiku. Aku akan berusaha dan juga berserah.  Aku berusaha untuk diriku yg sudah berusaha keras selama ini, untuk para penyewa yg melihat ruang ini adalah rumah aman mereka dan untuk terakhir kalinya. Setelah ini, aku benar-benar berserah, alam akan membantu ini bekerja entah bagaimana caranya.


        Maka, dengan tulisan ini, aku kembali memilih diriku, setelah rasanya mati suri. Aku melepaskan semua hal external, seperti hari pertama aku menerima kunci, seperti hari pertama aku pulang ke rumah ibu lagi, seperti hari pertama aku hidup di dimensi ini.


   Purnama kali ini, aku benar-benar hampir mati dalam kecelakaan dua kali. Dan, secara batin entah berapa kali. Tapi, hari ini bersama darah yg mengalir dari rahimku, aku hidup lagi.




Komentar

Postingan Populer